|
P I L I H E D I S I
| April 2003
| Mei
| Juni |
Juli | Agustus | September | Oktober | Nopember | Desember | Januari | Februari | Maret 2004 |
Penemu resep
telur asin rasa udang ini, Hasan Bisri (35), mengaku bahwa dalam sehari ia
mampu memproduksi 700 hingga 750 butir telur asin yang dibuat dalam rasa
udang, kupang, dan alami. Jika ditambah dengan peternak lain dari Desa
Kejapanan, produksi telur asin itu bisa mencapai 7.000 butir sehari.
Sementara dari satu kecamatan dihasilkan 35.000 butir telur asin setiap hari.
Menurut
Bisri, selama ini telur asin produksinya baru dikenal di sekitar Surabaya,
Pasuruan, Sidoarjo, Malang, dan Banjarmasin. Padahal, dilihat dari kualitas
dan inovasi rasa yang mampu diciptakannya, telur asin produksi Pasuruan itu
tidak kalah dengan telur asin dari Brebes yang sudah terkenal di seantero
negeri. "Kami,
kan, masih belum mengenal promosi, manajemennya pun masih sederhana. Jadi,
masih sebatas menunggu bola, menunggu pembeli yang datang sendiri ke desa
kami. Tetapi, setiap hari telur-telur yang kami hasilkan selalu laku dijual,
kok," katanya. Telur asin
tersebut terdiri atas tiga macam rasa, sesuai dengan jenis pakan itiknya.
Itik yang diberi pakan kepala udang akan menghasilkan telur yang berasa
udang, itik yang diberi pakan kupang akan menghasilkan telur berasa kupang,
sementara yang alami dihasilkan oleh itik yang hanya makan bekatul. Harga telur
produksi peternak pada umumnya berkisar Rp 650-Rp 800 per butir. Sementara
telur produksi Bisri lebih mahal, yakni Rp 1.000, karena masih harus melalui
tahap pencelupan dalam ramuan khusus yang memakan waktu 15 hari agar rasa
udangnya lebih "menyengat". Sekitar 50
peternak itik di Desa Kejapanan yang tergabung dalam Koperasi Peternak Unggas
"Harapan Kita" masih berusaha keras mempromosikan telur asin rasa
udang ini kepada masyarakat. Salah satunya dengan membuat kemasan yang
menarik berupa tas kertas berwarna keperakan. Setiap tas diisi lima hingga 10
butir telur, dijual dengan harga Rp 5.000-Rp 10.000. "Cita-cita
kami sebenarnya ingin menggelar dagangan di pinggir-pinggir jalan seperti pedagang
tape Bondowoso itu, agar lebih dikenal masyarakat luas. Tetapi, kami takut
dan malas jika kemudian hari harus berurusan dengan aparat pemerintah, karena
tidak memiliki izin. Jadi ya, untuk sementara begini saja dulu," kata
Hasan Bisri. (KOMPAS,2002) |