13 September
2001, Republika
Limbah
Kepiting dan Udang Bernilai Ekonomi Tinggi
Limbah
kulit kepiting, rajungan, dan udang ternyata memiliki nilai ekonomis tinggi.
Dalam limbah kulit tersebut terkandung senyawa chitin sekitar 10 persen
hingga 30 persen. Senyawa tersebut bila diproses lebih lanjut dengan
memanfaatkan sinar gamma maka akan dihasilkan oligo chitosan yang berguna
sebagai bahan baku produk kesehatan, pertanian, mengolah limbah,
bioplastik, makanan, bioteknologi, kosmetik, dan antibakteri.
Saat
ini, kata Dra Rahayu Chosdu MM, kepala bidang proses industri pada National
Nuclear Energy Agency Banten, kebutuhan chitin atau chitosan di dunia cukup
besar. Diperkirakan setiap tahun kebutuhan senyawa tersebut selalu
mengalami peningkatan hingga sekitar 10 pangkat enam ton. Untuk tahun 1999
saja, kebutuhan itu mencapai sekitar 10 pangkat 10 ton.
"Ini
jelas prospek yang sangat menggembirakan bagi kita, khususnya kalangan
nelayan dan masyarakat kecil yang tinggal di pesisir pantai. Sebab, sumber
senyawa itu banyak terdapat di daerah ini," kata Rahayu, salah satu
pakar yang konsern terhadap masalah pemanfaatan limbah perikanan di
Indonesia saat ditemui Republika di sela-sela acara seminar nasional
tentang "Otda dan Peluang Industrialisasi Sektor Kelautan", yang
diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Cirebon, Rabu
(12/9).
Apalagi,
kata Rahayu, senyawa chitin/chitosan dapat dibuat turunannya. Sehingga
banyak produk yang dapat dihasilkan dari biopolimer tersebut. "Senyawa
ini merupakan biopolimer bahan alam, tidak beracun, mudah didegradasi,
berat molekul besar, memiliki sifat mengkilat, biomolekul dan
biokompatibel," ungkapnya.
Namun,
lanjut dia, pemanfaatan limbah perikanan tersebut di Indonesia masih sangat
minim. Menurutnya, baru ada sebuah perusahaan di Surabaya, Jawa Timur yang
memanfaatkan peluang ini untuk melakukan ekspor.
Sedangkan
negara-negara yang banyak membutuhkan limbah perikanan yang telah diproses
menjadi biopolimer ini antara lain Eropa, Jepang, Amerika, maupun Cina. Di
sisi lain, harga jualnya pun bisa cukup tinggi sekitar Rp 25 ribu hingga Rp
300 ribu per kilogram. Itu pun tergantung dari grade yang diinginkan oleh
pemesannya. "Untuk medical grade, harganya bisa mencapai Rp 250 ribu
per kilogram, tinggi kan. Dan ini belum banyak dimanfaatkan oleh kalangan
nelayan dan keluarganya," kata Rahayu.
Untuk
itu, Batan pun kini tengah melakukan kerja sama dengan Pemkot Cirebon mengenai
masalah pengolahan limbah tersebut. Saat ini ada 40 nelayan yang tengah
menggali ilmu dalam bidang tersebut. "Semua ini untuk meningkatkan
derajat ekonomi kerakyatan khususnya keluarga nelayan. Dan Cirebon
merupakan daerah yang menjadi pilot project bagi pengembangan usaha
tersebut".
"Kita
berharap, nelayan yang didik ini nantinya akan menjadi
instruktur-instruktur baru. Sehingga, ilmu yang dia peroleh bisa ditularkan
kepada kalangan nelayan lainnya," tutur Rahayu.
Namun,
lanjut Rahayu, yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha tersebut
adalah tidak turut campur tangannya industri pemurnian chitin dalam masalah
pengadaan bahannya. Sebab, bila itu terjadi justru akan merugikan
masyarakat nelayan sendiri.
"Sebaiknya,
limbah yang dihasilkan nelayan itu dibeli oleh koperasi. Dari koperasi itu,
industri pemurnian chitin tadi bisa mendapatkan bahan yang dibutuhkannya.
Sehingga dia sendiri tidak perlu menyediakan lahan yang luas untuk proses
tadi," ucapnya.
Sementara
itu Menteri Kelautan dan Perikanan Dr Ir Rokhmin Dahuri seusai menjadi
pembicara dalam seminar tersebut kepada Republika mengatakan sangat
mendukung upaya yang Batan yang memberikan pelatihan tentang pemanfaatan
limbah perikanan. Apalagi, kata dia, limbah itu ternyata bisa dijadikan
bahan produk lain yang memiliki nilai lebih ekonomis.
"Kerja
sama yang dilakukan Batan dan Pemkot Cirebon ini perlu dikembangkan lebih
luas lagi. Apalagi, pasar untuk produk tersebut pun sangat jelas khususnya
untuk ekspor. Ini tentunya perlu didukung oleh semua pihak," kata
Rokhmin.
|