P I L I H  E D I S I  | April 2003Mei | Juni | Juli | Agustus | September | Oktober | Nopember | Desember | Januari | Februari | Maret 2004 |

13 September 2001, Republika
Limbah Kepiting dan Udang Bernilai Ekonomi Tinggi

Limbah kulit kepiting, rajungan, dan udang ternyata memiliki nilai ekonomis tinggi. Dalam limbah kulit tersebut terkandung senyawa chitin sekitar 10 persen hingga 30 persen. Senyawa tersebut bila diproses lebih lanjut dengan memanfaatkan sinar gamma maka akan dihasilkan oligo chitosan yang berguna sebagai bahan baku produk kesehatan, pertanian, mengolah limbah, bioplastik, makanan, bioteknologi, kosmetik, dan antibakteri.

Saat ini, kata Dra Rahayu Chosdu MM, kepala bidang proses industri pada National Nuclear Energy Agency Banten, kebutuhan chitin atau chitosan di dunia cukup besar. Diperkirakan setiap tahun kebutuhan senyawa tersebut selalu mengalami peningkatan hingga sekitar 10 pangkat enam ton. Untuk tahun 1999 saja, kebutuhan itu mencapai sekitar 10 pangkat 10 ton.

"Ini jelas prospek yang sangat menggembirakan bagi kita, khususnya kalangan nelayan dan masyarakat kecil yang tinggal di pesisir pantai. Sebab, sumber senyawa itu banyak terdapat di daerah ini," kata Rahayu, salah satu pakar yang konsern terhadap masalah pemanfaatan limbah perikanan di Indonesia saat ditemui Republika di sela-sela acara seminar nasional tentang "Otda dan Peluang Industrialisasi Sektor Kelautan", yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Cirebon, Rabu (12/9).

Apalagi, kata Rahayu, senyawa chitin/chitosan dapat dibuat turunannya. Sehingga banyak produk yang dapat dihasilkan dari biopolimer tersebut. "Senyawa ini merupakan biopolimer bahan alam, tidak beracun, mudah didegradasi, berat molekul besar, memiliki sifat mengkilat, biomolekul dan biokompatibel," ungkapnya.

Namun, lanjut dia, pemanfaatan limbah perikanan tersebut di Indonesia masih sangat minim. Menurutnya, baru ada sebuah perusahaan di Surabaya, Jawa Timur yang memanfaatkan peluang ini untuk melakukan ekspor.

Sedangkan negara-negara yang banyak membutuhkan limbah perikanan yang telah diproses menjadi biopolimer ini antara lain Eropa, Jepang, Amerika, maupun Cina. Di sisi lain, harga jualnya pun bisa cukup tinggi sekitar Rp 25 ribu hingga Rp 300 ribu per kilogram. Itu pun tergantung dari grade yang diinginkan oleh pemesannya. "Untuk medical grade, harganya bisa mencapai Rp 250 ribu per kilogram, tinggi kan. Dan ini belum banyak dimanfaatkan oleh kalangan nelayan dan keluarganya," kata Rahayu.

Untuk itu, Batan pun kini tengah melakukan kerja sama dengan Pemkot Cirebon mengenai masalah pengolahan limbah tersebut. Saat ini ada 40 nelayan yang tengah menggali ilmu dalam bidang tersebut. "Semua ini untuk meningkatkan derajat ekonomi kerakyatan khususnya keluarga nelayan. Dan Cirebon merupakan daerah yang menjadi pilot project bagi pengembangan usaha tersebut".

"Kita berharap, nelayan yang didik ini nantinya akan menjadi instruktur-instruktur baru. Sehingga, ilmu yang dia peroleh bisa ditularkan kepada kalangan nelayan lainnya," tutur Rahayu.

Namun, lanjut Rahayu, yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha tersebut adalah tidak turut campur tangannya industri pemurnian chitin dalam masalah pengadaan bahannya. Sebab, bila itu terjadi justru akan merugikan masyarakat nelayan sendiri.

"Sebaiknya, limbah yang dihasilkan nelayan itu dibeli oleh koperasi. Dari koperasi itu, industri pemurnian chitin tadi bisa mendapatkan bahan yang dibutuhkannya. Sehingga dia sendiri tidak perlu menyediakan lahan yang luas untuk proses tadi," ucapnya.

Sementara itu Menteri Kelautan dan Perikanan Dr Ir Rokhmin Dahuri seusai menjadi pembicara dalam seminar tersebut kepada Republika mengatakan sangat mendukung upaya yang Batan yang memberikan pelatihan tentang pemanfaatan limbah perikanan. Apalagi, kata dia, limbah itu ternyata bisa dijadikan bahan produk lain yang memiliki nilai lebih ekonomis.

"Kerja sama yang dilakukan Batan dan Pemkot Cirebon ini perlu dikembangkan lebih luas lagi. Apalagi, pasar untuk produk tersebut pun sangat jelas khususnya untuk ekspor. Ini tentunya perlu didukung oleh semua pihak," kata Rokhmin.