P I L I H  E D I S I  | April 2003Mei | Juni | Juli | Agustus | September | Oktober | Nopember | Desember | Januari | Februari | Maret 2004 |

 

Biota Laut Sembuhkan Beragam Penyakit

Mulai dari tetanus, kelebihan kolesterol, hingga kanker bisa disembuhkan melalui biota laut. Bahkan, algae hijau ("green algae") disinyalir mampu mengobati penderita HIV/AIDS.

Obat Dari Laut - Beragam produk vitamin dan obat-obatan buatan Cina ini berasal dari biota laut seperti rumput laut, kulit udang, kulit kepiting, tempurung kura-kura, mata ikan tuna, dan hati ikan kembung.

Itulah yang saat ini digarap para ilmuwan Universitas Kelautan di Qingdao, Cina. Melalui riset yang intensif itu mereka membedah rumput laut dari jenis algae hijau untuk obat HIV/AIDS. Kalau riset itu sukses, dunia farmasi bisa lega. Maklum, hingga kini belum ada satu pun obat yang mujarab untuk meredam ganasnya virus mematikan tersebut. Upaya Cina memang bukan main-main. Menurut Kepala Badan Riset dan Kelautan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Dr Ir Indroyono Soesilo yang baru saja berkunjung ke negeri berpenduduk terbesar di dunia itu, mereka juga membuat produk telur ayam dengan nama keren Ocean Bio-Eggs.

Telur itu diklaim memiliki kandungan gizi yang sangat bervitamin dan sehat dikonsumsi manusia. Alasannya, sang induk ayam diberi pakan dengan campuran rumput laut. Di samping itu, di Pusat Riset Laut Kuning Cina, ujar Indroyono, sudah terkumpul sekitar 10.000 jenis bakteri dari laut. Konon, bakteri-bakteri itu akan diterapkan pada produk-produk industri baru, seperti unsur pembuat sabun deterjen dan larutan kimia penanggulangan tumpahan minyak. "Sudah sejak ribuan tahun lalu Cina mengembangkan obat-obatan dan vitamin yang berasal dari biota laut," kata Indroyono. Uniknya lagi, hasil-hasil riset itu langsung diserap industri.

Maka jangan kaget kalau industri kelautan Cina mampu menyumbangkan devisa hingga mencapai 48 miliar dolar AS per tahun. Sekitar 12 miliar dolar AS di antaranya datang dari subsektor perikanan. Sisanya diperoleh dari berbagai subsektor kelautan lainnya termasuk dari industri biofarmasi laut.

Obat Mujarab

Itulah Cina. Biota laut apa pun bisa disulap menjadi obat mujarab. Daging kuda laut, misalnya, sudah dikemas sehingga manjur untuk obat penenang dan obat tidur. Lalu, tempurung kura-kura ditumbuk dan diolah menjadi obat antitetanus. Ada lagi hati ikan buntel yang bisa dipakai sebagai penyembuh saraf otak yang rusak. Kerang yang ditumbuk pun terbukti mampu mengobati sakit maag. Dan kalau Anda sering pikun, jangan khawatir. Sebab, Cina juga menyediakan ramuan serbuk ular dari laut dalam (deep sea). Dengan menenggak serbuk tersebut, daya ingat Anda meningkat, pikun pun lenyap. Dan, jika Anda punya kadar kolesterol tinggi, Cina telah meramu obat yang berasal dari limbah kulit udang dan limbah kulit kepiting. Suatu terobosan yang patut kita tiru. Bukan apa-apa, material yang berlimpah ruah di Indonesia itu tak lain adalah limbah yang terbuang begitu saja. Namun, oleh Cina, limbah itu disulap menjadi obat yang bernilai ekonomi tinggi.

Kehebatan Cina tak hanya berhenti di situ saja. Serat chitin yang diambil dari kulit udang pun dipakai untuk campuran bahan kaus pakaian. Konon, material kaus dan baju dalam yang dicampuri chitin produknya lebih halus, nyaman bila dipakai, dan tidak rusak jika diseterika. Andalan Cina lainnya berupa produk vitamin dan obat-obatan dari rumput laut. Di sana, rumput laut diubah menjadi obat antiinfluenza, hepatitis, diabetes, pelancar saluran darah, jantungan, dan pengawet makanan.

Keragaman Hayati

Lalu, apa yang bisa dilakukan Indonesia? Bukankah keragaman hayati (biodiversity) laut kita selain begitu besar juga memiliki potensi yang luar biasa? Jalan pintas ke arah itu memang tidak mudah. Betapa tidak, mengembangkan obat-obatan dari produk laut membutuhkan waktu teramat panjang. Di Jerman, misalnya, tahapan pengujiannya berlangsung ketat dan berlapis-lapis. Sebagai contoh, obat antikanker dari terumbu karang yang ditemukan pakar Indonesia dan Jerman membutuhkan waktu minimal 13 tahun untuk bisa masuk ke pasar.

Bayangkan, dari tahap penemuan, calon obat antikanker tadi harus melewati tahap uji praklinis, uji klinis I, dan uji klinis II. Setelah lulus dari berbagai ujian itu, barulah obat tersebut bisa diproduksi secara massal untuk selanjutnya masuk ke pasaran. Kerja sama dengan negara lain merupakan salah satu upaya untuk mempercepat proses tersebut. Maka, BRKP pun segera menjalin kerja sama dengan Jerman dan Cina. Menurut Indroyono, program bersama Jerman itu meliputi empat bidang, yakni pembuatan produk rumput laut untuk zat pewarna makanan, pembuatan chitin dan chitosan untuk obat antikolesterol dari kulit udang dan kulit kerang, pembuatan roti berbahan baku tepung beras dengan adonan dari enzim udang, serta pembuatan vitamin Omega-3 dari ikan tuna mata besar.

Tentu saja program itu menyertakan sektor swasta. Ini perlu karena memang pada akhirnya merekalah yang memasarkan produk-produk tersebut. Dengan demikian, tak ada lagi istilah hasil riset yang berharga itu hanya tersimpan di laci atau perpustakaan. Melihat potensi keragaman hayati laut yang ada di negeri ini, optimisme itu harusnya ada. Lihat saja di laut tropis Indonesia, tersebar sekitar 8.500 jenis ikan, 950 jenis terumbu karang, dan 555 jenis rumput laut. Sekarang tinggal bagaimana kepiawaian bangsa ini mengolahnya.

 (sumber : suara pembaruan)