Mulai dari tetanus, kelebihan kolesterol, hingga kanker
bisa disembuhkan melalui biota laut. Bahkan, algae hijau ("green
algae") disinyalir mampu mengobati penderita HIV/AIDS.
Obat Dari Laut - Beragam produk vitamin dan
obat-obatan buatan Cina ini berasal dari biota laut seperti rumput laut, kulit
udang, kulit kepiting, tempurung kura-kura, mata ikan tuna, dan hati ikan
kembung.
Itulah yang saat ini digarap para ilmuwan Universitas
Kelautan di Qingdao, Cina. Melalui riset yang intensif itu mereka membedah
rumput laut dari jenis algae hijau untuk obat HIV/AIDS. Kalau riset itu sukses,
dunia farmasi bisa lega. Maklum, hingga kini belum ada satu pun obat yang
mujarab untuk meredam ganasnya virus mematikan tersebut. Upaya Cina memang
bukan main-main. Menurut Kepala Badan Riset dan Kelautan (BRKP) Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) Dr Ir Indroyono Soesilo yang baru saja berkunjung
ke negeri berpenduduk terbesar di dunia itu, mereka juga membuat produk telur
ayam dengan nama keren Ocean Bio-Eggs.
Telur itu diklaim memiliki kandungan gizi yang sangat
bervitamin dan sehat dikonsumsi manusia. Alasannya, sang induk ayam diberi
pakan dengan campuran rumput laut. Di samping itu, di Pusat Riset Laut Kuning
Cina, ujar Indroyono, sudah terkumpul sekitar 10.000 jenis bakteri dari laut.
Konon, bakteri-bakteri itu akan diterapkan pada produk-produk industri baru,
seperti unsur pembuat sabun deterjen dan larutan kimia penanggulangan tumpahan
minyak. "Sudah sejak ribuan tahun lalu Cina mengembangkan obat-obatan dan
vitamin yang berasal dari biota laut," kata Indroyono. Uniknya lagi,
hasil-hasil riset itu langsung diserap industri.
Maka jangan kaget kalau industri kelautan Cina mampu
menyumbangkan devisa hingga mencapai 48 miliar dolar AS per tahun. Sekitar 12
miliar dolar AS di antaranya datang dari subsektor perikanan. Sisanya diperoleh
dari berbagai subsektor kelautan lainnya termasuk dari industri biofarmasi
laut.
Obat Mujarab
Itulah Cina. Biota laut apa pun bisa disulap menjadi obat
mujarab. Daging kuda laut, misalnya, sudah dikemas sehingga manjur untuk obat
penenang dan obat tidur. Lalu, tempurung kura-kura ditumbuk dan diolah menjadi
obat antitetanus. Ada lagi hati ikan buntel yang bisa dipakai sebagai penyembuh
saraf otak yang rusak. Kerang yang ditumbuk pun terbukti mampu mengobati sakit
maag. Dan kalau Anda sering pikun, jangan khawatir. Sebab, Cina juga
menyediakan ramuan serbuk ular dari laut dalam (deep sea). Dengan
menenggak serbuk tersebut, daya ingat Anda meningkat, pikun pun lenyap. Dan,
jika Anda punya kadar kolesterol tinggi, Cina telah meramu obat yang berasal
dari limbah kulit udang dan limbah kulit kepiting. Suatu terobosan yang patut
kita tiru. Bukan apa-apa, material yang berlimpah ruah di Indonesia itu tak
lain adalah limbah yang terbuang begitu saja. Namun, oleh Cina, limbah itu
disulap menjadi obat yang bernilai ekonomi tinggi.
Kehebatan Cina tak hanya berhenti di situ saja. Serat
chitin yang diambil dari kulit udang pun dipakai untuk campuran bahan kaus
pakaian. Konon, material kaus dan baju dalam yang dicampuri chitin produknya
lebih halus, nyaman bila dipakai, dan tidak rusak jika diseterika. Andalan Cina
lainnya berupa produk vitamin dan obat-obatan dari rumput laut. Di sana, rumput
laut diubah menjadi obat antiinfluenza, hepatitis, diabetes, pelancar saluran
darah, jantungan, dan pengawet makanan.
Keragaman Hayati
Lalu, apa yang bisa dilakukan Indonesia? Bukankah
keragaman hayati (biodiversity) laut kita selain begitu besar juga
memiliki potensi yang luar biasa? Jalan pintas ke arah itu memang tidak mudah.
Betapa tidak, mengembangkan obat-obatan dari produk laut membutuhkan waktu
teramat panjang. Di Jerman, misalnya, tahapan pengujiannya berlangsung ketat
dan berlapis-lapis. Sebagai contoh, obat antikanker dari terumbu karang yang
ditemukan pakar Indonesia dan Jerman membutuhkan waktu minimal 13 tahun untuk
bisa masuk ke pasar.
Bayangkan, dari tahap penemuan, calon obat antikanker
tadi harus melewati tahap uji praklinis, uji klinis I, dan uji klinis II.
Setelah lulus dari berbagai ujian itu, barulah obat tersebut bisa diproduksi
secara massal untuk selanjutnya masuk ke pasaran. Kerja sama dengan negara lain
merupakan salah satu upaya untuk mempercepat proses tersebut. Maka, BRKP pun
segera menjalin kerja sama dengan Jerman dan Cina. Menurut Indroyono, program
bersama Jerman itu meliputi empat bidang, yakni pembuatan produk rumput laut
untuk zat pewarna makanan, pembuatan chitin dan chitosan untuk obat
antikolesterol dari kulit udang dan kulit kerang, pembuatan roti berbahan baku
tepung beras dengan adonan dari enzim udang, serta pembuatan vitamin Omega-3
dari ikan tuna mata besar.
Tentu saja program itu menyertakan sektor swasta. Ini
perlu karena memang pada akhirnya merekalah yang memasarkan produk-produk
tersebut. Dengan demikian, tak ada lagi istilah hasil riset yang berharga itu
hanya tersimpan di laci atau perpustakaan. Melihat potensi keragaman hayati
laut yang ada di negeri ini, optimisme itu harusnya ada. Lihat saja di laut
tropis Indonesia, tersebar sekitar 8.500 jenis ikan, 950 jenis terumbu karang,
dan 555 jenis rumput laut. Sekarang tinggal bagaimana kepiawaian bangsa ini
mengolahnya.
(sumber : suara pembaruan)