P I L I H  E D I S I  | April 2003Mei | Juni | Juli | Agustus | September | Oktober | Nopember | Desember | Januari | Februari | Maret 2004 |


Komoditas Kerupuk Udang Menjanjikan bagi Sidoarjo

KERUPUK adalah salah satu jenis makanan khas Indonesia yang sangat digemari. Hampir setiap daerah memiliki ciri khas kerupuk masing-masing, yang terkadang juga identik dengan nama daerah tempat asalnya itu. Ada Kerupuk Palembang dari Sumatera Selatan, ada Kerupuk Padang Pasir ala Kediri, Jawa Timur (Jatim), dan jika berbicara soal kerupuk udang, Kabupaten Sidoarjo tentunya merupakan tempatnya.

Produksi kerupuk udang di Sidoarjo sebagai salah satu produk makanan nyamikan teman makan nasi sekarang ini mampu merambah seluruh pasaran di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Selain itu, kawasan lain di luar Pulau Jawa seperti Bali, Medan, Pontianak, dan Kalimantan juga menjadi daerah pasaran tetap produk makanan ini.

Bahkan, menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Sidoarjo, selain dikenal sebagai sentra produksi kerupuk udang, beberapa kawasan di Sidoarjo juga menjadi tempat pelatihan membuat kerupuk udang. Salah satu lokasi yang sering dikunjungi berada di Desa Kedungrejo, Kecamatan Jabon, sekitar 21 kilometer arah selatan pusat kota.

Di kelurahan ini banyak kelompok tani dari tempat lain seperti Riau, Ka-limantan, dan Kendari mengirimkan beberapa perwakilan mereka untuk tinggal selama beberapa minggu mempelajari teknik pengolahan kerupuk udang. Selain itu, Desa Kedungrejo juga terkenal dengan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Setia Abadi yang akhir tahun lalu menjuarai Lomba Peduli Mutu hasil Perikanan Tingkat Provinsi Jatim dan Juara Nasional pengolahan kerupuk tradisional.

Berdasarkan data Disperindag Kabupaten Sidoarjo, kawasan ini sedikitnya memiliki enam kecamatan yang dikenal sebagai sentra industri pengolahan kerupuk udang. Keenam kecamatan itu antara lain Sidoarjo, Candi, Buduran, Porong, Jabon, dan Tanggulangin.

Dari keenam kecamatan tadi terdapat sekitar 31 pengusaha industri kecil dan menengah yang memproduksi kerupuk udang. Total volume produksi tahun 1999 mencapai 9.371,5 ton kerupuk udang dan mampu menyerap 2.114 pekerja. Selain itu, sektor industri ini juga memiliki total nilai investasi Rp 775.992.000.

Hingga akhir tahun 2000 di Sidoarjo terdapat 1.737 industri kecil dengan kemampuan daya serap tenaga kerja 42.161 orang. Sementara dari 11.525 unit industri kerajinan rakyat mampu diserap 46.342 tenaga kerja. Sebagai salah satu dari tiga sektor dominan di Sidoarjo, sektor industri pengolahan, termasuk di dalamnya industri pengolahan kerupuk udang, menyumbang lebih dari 53 persen pemasukan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Sidoarjo. Angka ini mengalami pertumbuhan setiap tahun 5,94 persen.

Salah seorang pengusaha kerupuk udang yang sekaligus Ketua KUB Setia Abadi H Abdul Wachid mengatakan, saat ini di kelompoknya terdapat 25 anggota yang masing-masing memanfaatkan sampai 15 orang pekerja, mulai dari proses pengadonan, pengirisan, penjemuran, sampai tahap pengepakan. "Semakin besar kemampuan produksinya akan semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan," tambahnya.

Saat ini setiap produsen di Desa Kedungrejo menghasilkan kerupuk udang rata-rata tiga sampai tujuh kuintal setiap hari. Dengan harga jual Rp 6.000 sampai Rp 8.000 per kilogram, total omzet harian yang dihasilkan dari daerah Kedungrejo ini saja bisa mencapai sedikitnya Rp 45 juta.

Namun, untuk setiap kuintal kerupuk udang yang dibuat seorang produsen setidaknya harus memiliki modal Rp 6 juta. "Biasanya dari omzet yang kami dapat keuntungan bersih yang diterima tidak lebih dari lima persen," ujar Wachid.

Jumlah produsen kerupuk udang di KUB Setia Abadi ini, menurut Wachid, jauh lebih sedikit dibanding ketika KUB baru berdiri tahun 1988. Waktu itu jumlah anggota yang terdaftar 55 orang.

"Pada tahun 1989 terjadi kenaikan tajam pada harga bahan baku tepung tapioka. Waktu itu kenaikannya sampai lebih dari dua kali lipat sehingga memukul sejumlah besar anggota kami. Akhirnya, banyak dari mereka beralih memproduksi kerupuk jenis lain, seperti kerupuk puli. Jenis kerupuk puli waktu itu dipilih dengan pertimbangan, bahan dasarnya jauh lebih murah karena terbuat dari tepung terigu. Namun, mereka yang bertahan pun terpaksa menurunkan kualitas produksi kerupuk udang buatannya. Sampai-sampai saat itu mutu kerupuk udang buatan Jabon juga ikut merosot," tutur Wachid.

Akan tetapi, omzet penjualan ke-rupuk udang yang menggiurkan tadi bukannya tanpa kendala. Selain masih terbentur masalah permodalan, Ketua KBU Setia Abadi Wachid juga mengeluh, banyak anggotanya sampai saat ini belum berani menerima pesanan dari luar negeri.

Alasannya, calon pembeli biasanya menetapkan target produksi satu ton per hari yang masih belum sanggup mereka penuhi. Penyebabnya, produsen masih bergantung pada kondisi cuaca untuk mengeringkan kerupuk yang dihasilkannya. Padahal, sekitar dua tahun yang lalu beberapa pembeli dari Australia dan Arab Saudi sempat mendatangi kawasan Kedungrejo melihat proses produksi.

"Faktor cuaca masih sangat menentukan. Setiap kerupuk yang diproduksi harus terlebih dulu dijemur di panas matahari minimal enam jam. Setelah penjemuran ini barulah kerupuk siap dikonsumsi dan tahan disimpan selama satu tahun," tambahnya.

Jika saja anggota KUB punya cukup modal membeli mesin pengering sen-diri, pesanan satu ton per hari bisa jadi bukan masalah lagi. Ini karena setiap unit mesin pengering mampu me-nampung enam kuintal sampai satu ton per proses pengeringan.

Sayangnya, hingga saat ini harga mesin pengering mencapai Rp 20 juta per unit. Harga tersebut masih belum terjangkau oleh industriawan kecil. "Kalau sedang musim kemarau tidak ada masalah membuat kerupuk, tapi bagaimana kalau musim hujan? Pembeli kan tidak mau tahu, mereka sudah menetapkan target yang harus kita penuhi. Kalau gagal memenuhi target mereka bisa dipastikan tidak akan mau lagi berurusan dengan kita" tambah Wachid. (KOMPAS,2002)